SUASANA BARU
SUASANA BARU
BY ZR
Pagi yang indah, bukan? Aku sangat menyukai udara di pagi hari karena bagus untuk kesehatan. Perkenalkan, namaku Caesar Alexandrovich. Aku hanya anak sederhana. Di mata orang aku adalah anak dari keluarga kaya. Aku anak pindahan dua bulan yang lalu dari Kanada. Selama di sekolah baruku aku belajar banyak hal dari teman-temanku. Banyak orang bilang wajahku sangat kebule-bulean. Hidung yang mancung, kulit putih, mata biru, rahang yang tegas, alis yang tebal, dan tubuh yang sangat tinggi. Kuakui aku sangat tampan.
Sesampainya di sekolah aku mampir ke kantin untuk sarapan. Tadi aku tidak sempat sarapan di rumah.
“Oiiii ..... tumben dateng ke kantin. Ngapain?” tanya Calvin. Ia temanku si tukang jahil. Nama panjangnya Calvin Aksa Wijaya.
“Aku cuman numpang makan. Di rumah tadi aku dibikinin bekal sama .....” ucapanku terpotong akibat suara hentakan meja.
GUBRAKK!!
“Gimana nih, kalian kok pada santai gak bikin PR fisika?” tanya seseorang dengan wajah panik. Dia Evan si paling pinter dan rajin. Evan Mahendra Pramuja.
Dengan santai Calvin melanjutkan makannya dan aku masih menyimak omongan Evan.
“Santai aja, aku udah selesai kok,” ucap Calvin sambil menyuap nasi gorengnya.
Aku pun mengangguk. “Aku juga udah loh. Malahan kan aku yang bilang dari kemaren,” ucapku sambil mengeluarkan kotak bekal dan sebuah buku. Aku menyerahkan bukuku kepada Evan.
TET ... TET ... TET ...
Bel berbunyi menandakan jam pelajaran pertama akan mulai. Aku sangat berterima kasih kepada Bik Tina. Ia tidak lupa menyiapkan bekal untukku. Kalau tidak, aku mungkin sudah lemas karena tidak sarapan pagi. Selama jam pelajaran aku fokus ke papan tulis, sementara siswa di sebelahku sudah tertidur pulas sambil menutup wajahnya dengan buku. Perkenalkan, namanya Farhan Mahendra Pramuja, abang dari Evan. Mereka mirip, tapi sifat keduanya sangat bertolak belakang. Satu rajin dan satunya lagi pemalas.
Aku jadi teringat akan masa laluku. Aku selalu belajar sampai larut malam, tapi sekarang aku belajar sangat enjoy tidak seperti dulu.
TET ... TET ... TET ...
Akhirnya yang ditunggu-tunggu seluruh siswa tiba: jam istirahat. Semua siswa berhamburan keluar dari kelas menuju kantin. Aku dan teman-teman pergi bermain ke lapangan. Kami bermain sepak bola. Permainan yang sederhana dan disukai para siswa di sekolah. Seiring berjalannya waktu aku sangat nyaman dengan suasana ini.
“Haruto, bagi airnya dong, aku haus banget nih,” ucap Rafael dengan wajah yang sudah memerah. Perkenalkan, mereka Haruto Sarendra dan Rafael Jordan Smith si tukang ngegas dan si cerewet. Aku hanya tertawa kecil. Bagaimana tidak? Tubuh Haikal bukan seperti anak SMA pada umumnya. Badannya sangat pendek, lebih tepatnya seperti anak SMP kelas 2.
TET ... TET ... TET ...
Akhirnya jam pelajaran telah berakhir. Waktunya pulang sekolah. Aku bergegas menuju gerbang belakang agar tidak ada orang yang curiga. Aku segera masuk ke dalam mobil. Jujur saja, aku lebih suka menjadi orang sederhana daripada menjadi orang kaya. Menjadi anak orang kaya itu sangatlah sulit karena harus mewarisi bisnis atau perusahaan keluarga.
Papi dan Mami selalu saja sibuk dengan bisnis. Aku tahu bisnis itu sangat penting. Hanya saja, mengapa mereka tak meluangkan sedikit saja waktu bersama denganku. Tak terasa aku sudah sampai di halaman rumahku. Aku bergegas berjalan masuk ruang tamu dan tebakanku benar.
“Surprise!! Apa kau terkejut?” tanya papiku yang bernama Jake. Papi langsung merangkulku dan membawaku berjalan ke arah taman belakang rumah.
“Ayolah, jangan seperti ini. Papi akan memberi mobil AUDI R8. Belakangan ini Papi sangat sibuk, jadi tidak sempat mengabarimu,” ucap Papi dengan santai. Aku melepas rangkulan Papi.
“Tidak usah membuat suprise buatku, percuma saja. Aku juga tidak merasa terkesan,” ucapku sambil menahan kekecewaan yang mendalam.
“Maafkan, Papi, Nak, Papi tidak bisa meluangkan waktu untuk keluarga. Tapi setidaknya Mami kan ada,” hibur Papi.
“Kalian berdua sama saja, lebih mementingkan bisnis bukan aku,” ucapku lalu berlari menuju kamar sambil mengusap kasar air mata yang terjatuh di pelupuk mata. Aku selalu berharap kepada mereka agar bisa meluangkan waktu bersamaku, setidaknya satu hari saja sudah cukup. Bagiku percuma memiliki keluarga jika pada akhirnya aku ditinggal sendirian.
Keesokan harinya aku memutuskan untuk berangkat ke sekolah lebih awal agar tidak bertemu dengan Papi. Sesampainya di sekolah aku melanjutkan belajar karena semalam aku tidak belajar sama sekali. Tidak lama lagi akan ada ujian tengah semester dan aku harus mempersiapkannya dengan matang. Jika nilaiku turun, maka siap-siap saja nasibku.
TET … TET … TET ...
Jam pelajaran pertama dimulai. Aku masih fokus membaca buku biologi. Tak lama kemudiaan Farhan datang membawa bantal leher abu-abu kesayangannya.
“Tumben enggak mampir atau sekedar lewat kantin,” tanya Farhan sambil memperhatikan buku biologiku.
“Sebentar lagi kan mau ujian, aku harus mempersiapkannya dari awal,” ucapku.
“Terserah kau saja, aku hanya sekedar bertanya,” ucap Farhan sambil menidurkan dirinya di atas meja.
TET … TET … TET ...
Akhirnya bel sekolah telah berbunyi. Aku bergegas pulang dan tidak lupa berpamitan ke teman-temanku. Sesampainya di rumah aku bergegas mandi dan melanjutkan belajar yang tadi sempat tertunda.
Satu minggu sudah berlalu, berarti ujian pun sudah berlalu. Aku sedikit lega karena tidak perlu belajar terlalu giat untuk sementara waktu.
TET … TET … TET …
Jam keempat pun dimulai. Seorang wanita paruh baya datang membawa kertas yang berisi hasil peringkat. Wajahnya berseri-seri.
“Hari ini kalian akan mendengarkan hasil peringkat kalian dalam ujian seminggu kemarin,” ucap wanita tersebut dengan tersenyum. Kami memanggilnya Buk Susi. “Saya melihat ada yang peringkatnya naik dan ada peringkatnya turun. Saya harap kalian bisa menerima dengan lapang dada.
“Peringkat pertama ialah Farrel Yudhamata. Selamat atas peringkatnya! Saya harap kamu bisa mempertahankan rangking tersebut, ya,” ucap Buk Susi sambil menjabat Farrel. Aku sangat terkejut mengapa peringkatku bisa direbut oleh Farrel. Ingin rasa aku mengulang waktu. Seharusya aku harus belajar lebih giat lagi! Bagaimana jika Mami mendengar atau mengetahui peringkatku turun?!
“Selanjutnya, peringkat kedua adalah Caesar Alexandrovich. Selamat, ya, Caesar! Ibu harap kamu bisa mempertahankan peringkatmu, ya,” ucap Buk Susi membuat lamunanku terbuyar. Aku bergegas maju ke depan dan menjabat tangan Buk Susi. Aku masih bingung ada apa denganku. Mengapa peringkatku menurun?!
Sesampai di rumah aku masih tak terima dengan peringkatku. Mengapa harus peringkat kedua. Aku bukannya tidak bersyukur. Masalahnya, bagaimana jika kedua orang tuaku mengetahui jika anaknya menjadi orang bodoh. Aku sangat takut dan Mami pasti akan marah dan menghukumku.
“Hai, Caesar, bagaimana sekolahmu? Mami dengar kamu cukup nyaman dengan suasana barumu,” ucap Mami sambil tersenyum
“Iya, seperti Mami lihat,” ucapku sambil tersenyum palsu.
Aku segera berjalan menuju kamar. Aku berlagak baik baik saja seperti tidak terjadi apa-apa.
“Bagaimana hasil ujianmu? Apakah nilaimu sempurna?” tanya Mami antusias.
Seketika langkahku berhenti begitu saja. Aku sangat terkejut dari mana Mami tahu kalau aku sudah selesai ujian.
“Mam, aku akan menceritakannya nanti. Aku sangat lelah. Boleh aku istrahat dulu?”
Malam pun tiba. Seluruh ruangan didekorasi dengan perpaduan warna cokelat dan gold. Yeah, acara keluarga harus tetap dirayakan dengan gaya elegan. Jujur saja, aku sangat gugup karena aku sudah lama tidak berkumpul bersama keluarga. Kutatap bayanganku di cermin dengan saksama dan menggumamkan apa saja yang bisa membuatku lebih santai. Aku bergegas menuju meja makan. Melihat di meja makan terhidang makanan yang sangat mewah, aku semakin gugup saja.
Apakah mereka bakal kecewa dengan peringkatku yang turun? Aku terus memikirkan itu. Aku sungguh takut jika mereka benar-benar kecewa.
“Hai, Caesar!” sapa Mami dengan wajah berseri-seri.
“Sudah lama sekali kita tidak berkumpul begini,” ucap Papi.
“Ahh .. iya,” ucapku dengan singkat.
“Jadi, bagaimana rangkingmu, apakah ada penurunan?” tanya Mami.
Seketika sekujur tubuhku tegang seperti tersambar petir. Keringat dingin mulai bercucuran di pelipisku. Aku tak tahu harus menjawab apa lagi. Inilah ketakutanku yang paling besar. “Mengecewakan”, kata itu terngiang-ngiang di kepalaku.
“Mam, aku tahu ini sangat mengecewakan, tapi maafkan aku. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin. Aku hanya mendapat peringkat 2,” ucapku sambil tertunduk lemas.
Suasana meja makan menjadi sangat sunyi. Mami sama sekali tidak mengucap sepatah kata pun. Ia sibuk memotong daging seperti tidak terjadi sesuatu.
“Baiklah, Mami tahu mengapa peringkatmu menurun,” ucap Mami sambil melanjutkan memotong daging seperti tak terjadi sesuatu. Aku bersikap agak tenang. Semoga saja ada yang membantu.
“Karena kamu terlalu sering bermain bersama teman-temanmu. Mami sangat kecewa denganmu. Setidaknya, pikirkanlah masa depanmu. Teman tidak dibutuhkan ketika kamu sudah menjadi sukses. Seharusnya kamu lebih banyak belajar, tidak usah berteman maupun bermain dengan temanmu lagi,” jelas Mami.
Ucapan Mami ada benarnya juga, tapi aku juga membutuhkan teman untuk diajak ngobrol. Aku juga bosan dengan buku. Tapi entah mengapa ucapan Mami tadi membuat hatiku tertusuk seperti benda tajam yang menusuk dadaku. Perasaanku semakin tidak karuan. Aku bingung mengapa aku harus disalahkan ketika mendapat peringkat di bawah satu. Mengapa Mami tidak mendukungku meski peringkatku turun.
Keesokan harinya aku berniat pergi sekolah lebih awal karena ingin menghirup udara segar di jalan. Namun rencana pergi lebih awal batal karena Mami bilang aku akan home schooling saja.
“Huh ... ini sangat membosankan, selalu saja seperti ini!” ucapku sambil merenggangkan tubuhku sejenak.
TOK … TOK … TOK …
“Masuk!” ucapku.
Seorang wanita paruh baya masuk sambil membawa nampan dan segelas susu cokelat hangat favoritku.
“Makanlah selagi hangat! Mami harap kamu bisa belajar lebih giat agar kamu bisa mengurus bisnis kami, Sayang,” ucap Mami.
Kalimat itu selalu saja diulang-ulang. Selama ini aku sudah semaksimal mungkin berusaha mendapatkan peringkat pertama, tapi untuk kali ini aku mungkin kurang beruntung dan mereka seenaknya saja memutuskan home schooling untukku, tanpa kuketahui.
Sebulan pun berlalu. Aku tetap mengikuti home schooling. Rasanya sangat membosankan tidak bisa berbagi cerita ke teman-teman. Aku ingin kembali sekolah. Aku berharap ada yang bisa membukakan pintu hati Mami agar aku kembali ke sekolah.
“Oih … gimana nih, si Caesar belum juga masuk sekolah?” ucap Haruto.
“Ehh, bener juga, apa kita jenguk aja? Sekalian lihat rumah dia,” ucap Rafael sambil tersenyum jahil.
“Emang kamu tahu di mana rumahnya?” tanya Calvin.
“Tenang, permirsa sekalian, aku pernah sekali melihat rumah si Caesar,” ucap Rafael.
“Kalau gitu, besok aja kita jenguk dia. Besok kan Minggu,” ucap Evan sambil menutup bukunya.
Hari Minggu adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Begitu pula aku! Inilah hari bermalas-malasan tanpa belajar seharian. Namun, hal itu terganggu akibat ada kericuhan di bawah. Aku menuruni anak tangga sambil memantau seluruh sudut ruangan. Aku kaget ketika tahu siapa yang membuat kegaduhan di hari yang paling istimewewa ini.
“Tante, sekali saja kami mau ngobrol sama Caesar,” ucap pria yang memakai hoddie abu-abu.
“Bukan apa, tapi si Caesar lagi gak di rumah,” ucap Mami berbohong.
“Mami, kenapa ribut-ribut sih?!” ucapku berjalan ke arah kericuhan tersebut.
“Caesar!!!!!!!”
“Lho, kata Tante, Caesar lagi keluar,” ucap Farhan.
“Huh, kalian tuh, Tante gak suka anak Tante jadi bodoh gara-gara kalian,” ucap Mami sambil melipat kedua tangan di dada.
“Masa turun satu peringkat gitu aja marah,” bisik Rafael ke Haruto.
“Mam, masa gitu sama temen-temen aku. Mereka itu anak-anak baik, walaupun gak pinter,” ucapku meyakinkan Mami.
“Pokoknya Mami gak mau kamu bisa turun peringkat gara-gara main bareng sama mereka!” ucap Mami.
“Tapi, Mam, selama ini aku belum pernah ngerasain gimana rasanya punya teman, rasanya berbagi cerita sama teman,” ucapku sambil memohon.
“Sebelum aku pindah, aku belum pernah ngerasain hangatnya keluarga atau teman. Tapi, setelah tinggal di sini aku mulai merasa kalau lingkungan baruku memberiku kehangatan walau sedikit. Dulu aku sama sekali gak dijenguk siapa-siapa dan kalian berdua sibuk dengan bisnis masing masing. Bahkan, di rumah pun aku gak punya teman bercerita,” ucapku sambil menahan air mata.
“Wow, ada drama juga di keluarga ini,” bisik Rafael ke Calvin.
“Berisik!” ucap Calvin.
“Tolonglah, Mam, sekali saja aku minta diberi kebebasan di sekolah. Aku pengen rasain juga gimana rasanya punya teman,” ucapku lagi.
“Mami tahu kamu pengen punya teman. Cuman, Mami khawatir dengan lingkungan barumu. Mami takut kamu terjerat dalam hal-hal buruh yang bahkan di luar nalar Mami,” ucap Mami. “Tapi, untuk kali ini Mami akan berikan kamu kebebasan. Tapi, tepatin janji kamu kalau kamu bisa bertanggung jawab! Kalau kamu punya masalah, jangan pernah membawa nama keluarga, paham?” ucap Mami sambil mengusap wajahku.
“Iya,” ucapku sambil menangis terharu.
Tiba tiba seorang pria berjalan ke arah kami menggunakan jas hitam, “Sayang, oh sepertinya aku melewatkan sesuatu,” ucap Papi lalu memeluk kedua orang yang paling disayanginya.
“Yap, dramanya sangat mengharukan,” ucap Rafael sambil menghapus air matanya yang berlinang.
“Diamlah, kau merusak dramanya!” ucap Haruto.
Akhirnya aku diberi izin untuk kembali ke sekolah bersama teman-teman baruku. Memiliki suasana baru itu sangat menyenangkan, seperti memiliki rumah yang nyaman. Aku tak menyangka jika kedua orang tuaku sangat peduli denganku sampai-sampai mereka menghawatirkan pergaulanku dengan orang baru.
Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
MEMBACA SENYAP MTsN SABANG
Membaca senyap MTsN Sabang edisi Selasa, 8 November 2022. Membaca senyap merupakan salah satu program Literasi MTsN Sabang dari sekian banyak program literasi lainnya. Membaca Senyap d
Rerubangga MTsN 1 Sabang Menuju Siswa Berprestasi Dan Berkarya Oleh Sri Nilawati, S.Ag
Rerubangga MTsN 1 Sabang Menuju Siswa Berprestasi Dan Berkarya Oleh Sri Nilawati, S.Ag Tangga mer
Apel
Apel Siang ini terasa terik sekali matahari membakar wajah ku yang sudah semakin legam terbak
Duka
Duka hadirnya tak terduga sering tak didamba menghadapi Duka dengan sabar adalah Pahala bagi mereka yang percaya Kadang duka menghampiri saat hari begitu indah hingga air
Ayah
Ayah Aku tak pernah ingat hangat belaian tangan kekar mu namun aku percara Engkau selalu membelaiku Karena aku dapat merasakannya Hari ini usia ku bertambah “bukan bertamba
Yang Terabaikan
Yang Terabaikan Mengapa engkau melakukan apakah hanya karena mengejar penghargaan segera hentikan jika itu yang menjadi alasan Seberapa penting alasan itu jangan pernah en
Tulang Rusuk
Tulang Rusuk wahai engkau sang tulang rusuk berakhir sudah kini di hari Sabtu 29 Agustus 2020 Engkau tak pantas lagi menjadi tulang rusuk Menangis darah pun engkau Mulai hari ini
Sujud
Sujud ada rasa nyaman yang menyelimuti saat kening menyentuh bumi memuja Mu Ya Ilahi Rabbi ada hampa yang menghampiri jika terlambat aku mengadu melepas resah yang meliput
Sahabat
Sahabat kalian selalu ada bersama ku tersenyum dan menangis bersama kadang marah kadang canda sering kita galau bersama Sahabat Seakan tak berbatas rasa Saat kita saling berbagi